Oleh: Baharuddin Hafid

(Dosen Tetap FKIP Universitas Megarezky Makassar)

 

Pendahuluan

Peringatan Hari Guru setiap tahun selalu menjadi ruang refleksi nasional mengenai peran pendidik, arah pendidikan, dan masa depan generasi bangsa. Namun, refleksi ini sering berhenti pada ritual seremonial tanpa menggali persoalan struktural yang membayangi dunia pendidikan. Dalam konteks inilah pemikiran Paulo Freire menjadi sangat relevan. Ia melihat pendidikan bukan sekadar pengajaran, tetapi medan ideologis yang menentukan bagaimana manusia memahami dunia dan posisinya di dalam struktur sosial.

Jika Hari Guru ingin dimaknai secara kritis, maka perlu keberanian untuk melihat sisi gelap yang menyelip di balik institusi pendidikan—bagaimana kapitalisme dapat menjadikan sekolah sebagai instrumen ideologis yang licik, bekerja secara halus namun sangat efektif dalam mereproduksi ketimpangan dan kepatuhan. Freire menawarkan kacamata yang tajam untuk membaca fenomena ini.

1. Pendidikan sebagai Arena Pembentukan Kesadaran

Freire memandang pendidikan sebagai proses pembentukan kesadaran. Kesadaran kritis (critical consciousness) adalah tujuan sejati pendidikan, tetapi dalam sistem kapitalisme, kesadaran itu sering digantikan oleh kesadaran terkooptasi, yaitu pola pikir yang menerima struktur sosial-ekonomi sebagai sesuatu yang wajar tanpa dipertanyakan.

Pada momentum Hari Guru, refleksi penting perlu diarahkan ke sini: apakah sekolah telah membentuk guru dan murid yang kritis, atau justru memaksa mereka tunduk pada aturan-aturan pasar yang membelenggu kreativitas dan kebebasan berpikir?

2. Pendidikan Gaya Bank dan Logika Kapitalisme

Salah satu kritik paling kuat dari Freire adalah konsep banking education—model pendidikan di mana guru menjadi pemilik pengetahuan dan murid hanyalah wadah kosong. Model ini sangat kompatibel dengan kapitalisme: Ia menghasilkan pekerja patuh, bukan pemikir bebas. Ia meneguhkan hierarki antara yang dianggap “berilmu” dan “tidak berilmu”. Ia menutup peluang dialog yang memungkinkan pembentukan kesadaran kritis.

Pada konteks Hari Guru, ini menjadi kritik yang penting: beban administratif, target kurikulum, dan tekanan birokrasi sering memaksa guru menjadi pelaksana teknis, bukan pendidik transformatif. Di sinilah kelicikan kapitalisme bekerja: ia menciptakan kondisi sehingga guru tidak sempat—atau tidak berani—melakukan refleksi kritis.

3. Kurikulum sebagai Alat Hegemoni

Kurikulum dalam sistem pendidikan modern sering kali didesain dengan orientasi pasar. Pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan pembentukan manusia yang utuh. Dalam banyak kasus, kurikulum:

menekankan kompetensi teknis dibandingkan pemahaman etis; mengagungkan kompetisi tanpa menimbang solidaritas; mengecilkan porsi mata pelajaran yang membentuk nalar kritis seperti filsafat, sosiologi, dan sejarah ide.

Hegemoni kapitalisme bekerja lewat kurikulum yang membentuk pola pikir instrumental—bahwa nilai manusia ditentukan oleh produktivitas dan daya saing, bukan oleh kemanusiaannya. Guru sering kali dipaksa menyesuaikan diri dengan logika ini.

4. Sekolah sebagai Reproduksi Kelas

Dalam banyak masyarakat, termasuk Indonesia, sekolah tidak selalu menjadi lokomotif mobilitas sosial. Alih-alih, ia sering kali menjadi arena reproduksi kelas. Sekolah negeri dan swasta yang berkualitas tinggi biasanya hanya dapat diakses oleh keluarga mampu, sementara keluarga kelas bawah terjebak dalam sekolah dengan sumber daya terbatas.

Freire menyebut proses ini sebagai bentuk domestikasi, bukan pembebasan. Yang lebih mengkhawatirkan, ketimpangan ini sering disamarkan sebagai perbedaan “prestasi”, “disiplin”, atau “kemampuan individu”, padahal akarnya adalah struktur sosial-ekonomi yang timpang.

5. Guru sebagai Agen Pembebasan

Di tengah struktur kapitalisme pendidikan yang licik, guru memiliki posisi krusial sebagai agen perubahan. Freire tidak memandang guru sebagai pelaksana teknis kurikulum, melainkan sebagai subjek transformasi sosial. Guru adalah: pembuka ruang dialog; pembangkit kesadaran; fasilitator pemikiran kritis; penantang struktur ketidakadilan.

Momentum Hari Guru seharusnya tidak hanya merayakan kerja keras guru, tetapi juga mendorong pemulihan fungsi kritis mereka. Guru perlu diberdayakan, bukan dibebani. Mereka harus diberikan ruang pedagogis untuk mengaktifkan kesadaran murid, bukan sekadar memenuhi target administratif yang tak bernilai pedagogis.

6. Relevansi Bagi Pendidikan Indonesia Saat Ini

Kapitalisme dalam pendidikan Indonesia tampak dalam berbagai bentuk: komersialisasi pendidikan, biaya kuliah yang kian meningkat, ketergantungan pada lembaga privat, hingga orientasi industri yang mendominasi narasi kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, pemikiran Freire memberikan peta kritik yang relevan.

Tantangan utama kita adalah mempertanyakan arah pendidikan itu sendiri. Apakah sekolah sedang mencetak manusia yang kritis, atau hanya mencetak tenaga kerja yang mudah diatur? Apakah guru diberi ruang untuk berinovasi, atau justru dikekang oleh birokrasi teknokratik?

Peringatan Hari Guru menjadi momen untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental ini.

Penutup

Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan bukan proses netral. Ia selalu berpihak. Jika tidak berpihak pada pembebasan, maka secara diam-diam ia berpihak pada penindasan. Dalam kerangka kapitalisme global, sekolah mudah berubah menjadi lembaga yang licik—menghasilkan kepatuhan, bukan kesadaran.

Memaknai Hari Guru secara kritis berarti menyadari bahwa guru bukan hanya figur yang mengajar, tetapi pelaku perubahan sosial. Mereka adalah garda terdepan dalam membentuk generasi yang mampu membaca dunia dan mengubahnya.

Karena itu, pendidikan harus direbut kembali dari logika kapitalisme dan dikembalikan pada tujuan sejatinya: memanusiakan manusia, menguatkan kesadaran, serta membebaskan pikiran dan kehidupan.